Oleh Muhammad Adi Riswan Al Mubarak
Tidak seperti biasanya, siang Jumat itu suara dari pengeras masjid terdengar nyaring dan jernih. Setiap kata yang keluar dari mulut khatib memantul jelas, menembus dinding-dinding bangunan masjid yang belum rampung. Saya memang tidak bisa melihat langsung ekspresi wajah sang khatib karena saya duduk agak di belakang, bersama anak saya, di bangunan terpisah dari ruang utama masjid yang sedang direnovasi. Tapi suara khatib itu, entah mengapa terasa dekat.
Nada bicaranya tenang, cenderung berat, dan tidak tergesa. Tidak banyak ornamen dan variasi dalam ucapannya, namun justru karena itulah maknanya terasa lebih kuat. Ia menyampaikan inti khutbah dengan ringkas, hanya sepuluh menit. Saya ingat betul, karena saya sempat melirik jam tangan ketika ia memulai. Dan dalam waktu yang singkat itu, ia berbicara tentang sesuatu yang tidak singkat, tapi hal yang sebenarnya sudah kita rasakan saat ini, yaitu tanda-tanda kiamat.
Empat tanda, katanya. Empat tanda akhir zaman yang disebut dalam hadis Nabi. Khatib tidak berpanjang-panjang, namun inti pesannya menghujam. Suara khatib terus mengalun, kata-katanya pelan tapi mantap. Ia tidak menjelaskan banyak, hanya menyampaikan satu per satu tanda-tanda akhir zaman yang disebutkan oleh Nabi kemudian sedikit beserta contohnya.
Yang pertama, keberkahan yang diangkat dari waktu. Katanya, kiamat tidak akan terjadi hingga waktu terasa begitu cepat. Satu tahun serasa satu bulan, satu bulan serasa satu pekan, dan seterusnya hingga satu jam terasa seperti nyala api yang sebentar saja menyala, lalu padam.
Lalu khatib melanjutkan, tanda yang kedua yaitu hilangnya rasa kasih sayang. Dalam hadis Nabi, disebutkan bahwa kasih sayang itu akan dicabut dari hati orang-orang yang celaka. Betapa banyak orang sekarang saling menyakiti, saling menyalahkan, sibuk membela ego masing-masing. Bahkan dalam keluarga sendiri pun, kasih sayang terasa makin tipis. Dunia ini jadi tempat yang makin dingin. Namun sebagai insan zakat tentu hal ini menjadi perhatian kita. Amanah zakat, infak dan sedekah yang dititipkan ke kita akan memperlambat terjadinya kiamat kalau amanah ini benar-benar kita salurkan sebagai pupuk rasa kasih sayang.
Kemudian, ketiga yaitu hilangnya keadilan. Pemimpin yang lalai, keadilan yang berat sebelah, suara-suara kebenaran yang dikalahkan oleh suara uang. Jadi teringat hadis Nabi SAW yang artinya demikian “Kelak akan datang suatu masa pada manusia, amanat dianggap sebagai keuntungan, zakat dianggap sebagai kerugian, ilmu dipelajari bukan untuk agama, laki-laki lebih taat kepada istrinya dan durhaka kepada ibunya, ia mendekatkan temannya dan menjauhkan ayahnya.” Seakan-akan khutbah itu tidak sedang bicara tentang akhir zaman yang jauh di depan, tapi tentang hari ini, saat ini, dan situasi sekarang.
Dan terakhir, katanya, adalah hilangnya rasa malu, terutama pada wanita. Karena wanita adalah penjaga moral dalam peradaban. Ketika rasa malu telah tiada, ketika norma dianggap ketinggalan zaman, maka batas-batas moral perlahan-lahan runtuh. Padahal, kata Nabi, malu adalah bagian dari iman.
Khutbah itu berakhir tak lama setelah empat tanda itu disebutkan. Kiamat bukanlah semata-mata soal langit terbelah atau bumi terguncang. Ia dimulai perlahan dari hal-hal kecil yang hilang satu per satu, keberkahan, kasih sayang, keadilan, dan rasa malu.
Dan jika kita mau jujur, mungkin kita tidak sedang menunggu akhir zaman. Kita sedang menjalaninya.
Wallau’alam
Kepala Bagian Promosi dan Komunikasi Publik