Oleh Muhammad Adi Riswan Al Mubarak
Tidak tanggung-tanggung, lima kali dalam sehari kita diingatkan menuju kemenangan. Itulah adzan. Adzan yang dikumandangkan dari corong-corong masjid. Masjid yang kadang hanya dilirik saat hari-hari besar atau tempat menunggu senja. Tapi entah sejak kapan, sajadah-sajadahnya kerap diisi oleh punggung yang telah membungkuk. Dinding-dindingnya mendengar dzikir dari suara-suara parau yang menua.
Lalu ke mana gema langkah anak muda? Masih kuat, masih sehat, masih punya waktu.Tapi suara tawa kita lebih sering terdengar di kafe, konser, atau layar-layar sunyi. Sedangkan adzan, seringkali hanya lewat sebagai notifikasi, bukan panggilan jiwa. Bukan tidak ada sama sekali pemuda, tetapi lebih banyak di tempat lain ketimbang menjadikan masjid sebagai perioritas.
Padahal masjid bukan tempat bagi yang sedang putus harapan saja. Bukan tempat pelarian saat hidup kacau. Ia adalah rumah. Rumah bagi hati-hati yang ingin tenang, jiwa-jiwa yang rindu kepada Tuhan, dan langkah-langkah yang tahu ke mana harus kembali.
Masjid rumah kita semua, tidak ada masjid pribadi, masjid komplek, semuanya masjid adalah tempat kita mengadu, mengisak dan menyesal. Setiap langkah kaki yang diangkat dan kemudian diturunkan menjadi langkah demi langkah menuju masjid, dicatat sebagai kebajikan.
Jangan tunggu umur menua untuk kembali bersujud, jangan tunggu hati remuk baru ingin pulang. Allah tidak pernah tutup pintu, meski kita yang sering memalingkan wajah.
Masjid itu tempat bangkit, bukan hanya tempat istirahat. Pemuda mestinya bukan sekadar punya tenaga, tapi juga punya tanggung jawab melanjutkan perjuangan Nabi SAW, menjadi penggerak, bukan hanya penonton.
Mari pulang, karena masjid bukan hanya tempat salat. Ia tempat ditumbuhkannya harapan, dan dunia ini butuh pemuda yang bersujud sebelum sibuk menundukkan dunia.
Wallaua’lam
*Kepala Bagian Promosi dan Komunikasi Publik BAZNAS Kalsel