oleh Muhammad Adi Riswan Al Mubarak
“Tim Ghibah, Baperan gak di Ajak” bunyi tulisan di kaca belakang sebuah mobil yang menyelipku dari samping kanan. Sebegitunyakah ghibah dilegalkan?
Lalu saya terbayang ini bisa terjadi pada sebuah komunitas, atau tempat kerja atau di tempat manapun. Sering kali kita temui satu fenomena yang tak kasat mata, tapi sangat terasa dampaknya. Apa itu? Ya, ghibah atau mungkin bisa jadi kita merasa paling benar sendiri.
Mulanya sederhana, mungkin cuma obrolan ringan di pojok pantry, atau bisa dimanapun. Bermula dari keluhan berlanjut dengan keakuan berasa paling berjasa dan bla-bla lainnya dengan sangat mudah meluncur dari lidah tanpa tulang kita.
Merubah keyakinan dalam hati bahwa tanpa dirinya, tempat kerja atau kantor itu akan macet. Bahwa orang lain cuma ‘numpang lewat’, dan dialah satu-satunya yang benar-benar kerja. Pelan-pelan, rasa percaya pada tim atau tim lain mengikis dan yang tersisa hanyalah ego yang tumbuh liar, tanpa kendali.
Kita mungkin pernah atau sering menemui orang seperti ini. Atau, tanpa sadar, kita sendiri yang mulai ke arah sana dan merasa paling benar sendiri? bukankah setan mampu mengelabui keikhlasan hati ini dengan dalih ini “demi kemajuan bersama?”
Di dunia kerja yang penuh tekanan, target, dan kompetisi, sangat mudah untuk merasa ingin diakui, valiadasi kata orang zaman sekarang. Apalagi jika usaha kita tak terlihat, tak dihargai, atau bahkan disalahpahami. Lalu rasa kecewa itu berubah jadi bahan bakar untuk membicarakan rekan di belakang. Tidak lagi sekadar membahas pekerjaan, tapi mulai menyerempet ke ranah pribadi.
Dan begitulah ghibah mulai bekerja. Diam-diam merangkak lembut, tapi menghancurkan banyak hal. Menghancurkan hubungan, menghancurkan rasa saling percaya, dan yang paling fatal menghancurkan pahala kita sendiri plus menambah dosa kita. Dosa gak bisa diraba apalagi diterawang, tapi pelan-pelan memberi karat ke hati kita.
Padahal Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan sangat jelas bahwa ghibah adalah menyebutkan sesuatu tentang saudaramu yang dia tidak suka, walaupun itu benar. Jika yang dikatakan itu salah, maka namanya bukan lagi ghibah, tapi fitnah. Dan fitnah, lebih kejam dari pembunuhan.
Apa yang membuat kita begitu ringan membicarakan orang lain di belakangnya? Bisa jadi karena kita merasa lebih tahu. Merasa lebih peduli atau merasa lebih berjasa. Tapi justru di situlah bahayanya. Rasa “paling” itu, paling benar, paling rajin, paling dibutuhkan sering kali membuka jalan bagi kesombongan.
Dan sombong, seperti yang diajarkan dalam agama, bukan hanya menolak kebenaran. Tapi juga merendahkan orang lain. Ketika kita mulai merasa hanya kita yang bekerja dengan sungguh-sungguh, dan orang lain hanyalah beban, saat itulah kita sedang membuka pintu bagi penyakit hati yang lebih dalam.
Tidak ada satupun pekerjaan di kantor yang sepenuhnya berdiri sendiri. Bahkan pekerjaan paling “pribadi” pun pasti bersentuhan dengan orang lain. Maka jika sebuah sistem berjalan dengan baik, bukan karena satu orang yang hebat, tapi karena banyak orang yang saling menguatkan meski tidak semua terlihat. Bukankah sapu lidi tidak bisa membersihkan kalau tidak bersama-sama dengan temannya dalam satu ikatan saling menguatkan?
Dan jika ada amanah yang terasa berat dan kita mampu menanganinya, jangan buru-buru bangga. Karena kemampuan itu pun datangnya dari Allah. Bisa jadi Dia sedang menguji, apakah kita akan tetap rendah hati saat dipercaya lebih, atau justru tergelincir karena merasa paling berjasa.
Apalah arti pujian dan pengakuan manusia, jika Allah menutup pintu ridha-Nya karena lisan yang tak dijaga?
Maka, yuk kita mulai dari hal paling kecil, itulah menahan lidah. Bukan untuk memendam, tapi untuk membersihkan hati. Bukan berarti tidak boleh menegur atau menilai, tapi belajarlah menyampaikan langsung dengan adab dan kasih, bukan dengan membicarakan di belakang.
Kalau ada rekan kerja yang kita anggap kurang baik, bukan ghibah yang bisa memperbaiki. Tapi doa, dan sikap yang dewasa. Kalau kita merasa lelah karena merasa kerja sendirian, cobalah untuk berbicara baik-baik. Karena mungkin saja, orang lain juga merasa hal yang sama tentang kita.
Hidup ini singkat sekali, bahkan terlalu singkat untuk dipenuhi ghibah. Terlalu berharga untuk disia-siakan oleh kesombongan. Jadilah pribadi yang jujur, yang bisa dipercaya, dan yang rendah hati dalam menjalani setiap amanah. Karena yang dinilai Allah bukan seberapa sering kita merasa benar, tapi seberapa ikhlas kita memperbaiki diri tanpa harus menjatuhkan orang lain.
Wallahu a’lam.
*Kepala Bagian Promosi dan Komunikasi Publik BAZNAS Kalsel