Oleh Muhammad Adi Riswan Al Mubarak
Ada yang berubah ketika usia mulai menyentuh angka empat puluh. Kalau tidak dibarengi hidup sehat, badan tak lagi sekuat dulu, tubuh mulai dihinggapi sakit, dan waktu terasa lebih cepat. Tapi lebih dari itu ada yang jauh lebih terasa di dalam, sebuah pertanyaan sunyi yang perlahan-lahan muncul di hati “Apakah aku sudah siap jika mati datang hari ini?”
Pertanyaan yang sederhana, tapi sering membuat dada sesak. Karena jawabannya, seringkali, belum. Belum cukup amal, belum tuntas tobat. Belum juga lurus niat. Dan yang paling menakutkan bagaimana jika kematian datang di saat kita sedang jauh dari Allah?
Kadang kita sedang terlalu sibuk. Bukan sibuk dalam ketaatan, tapi sibuk dalam urusan dunia yang membuat lupa arah. Sibuk mengejar apa yang terlihat, tapi lalai menyiapkan apa yang pasti datang, kematian. Sibuk melakukan, tapi lupa merenung, ini aku sedang mendekat, atau menjauh dari-Nya?
Rasa takut akan kematian itu manusiawi. Bahkan sebagian ulama mengatakan, takut seperti itu adalah tanda hati yang masih hidup, tanda kita masih diberi hidayah. Karena hanya orang yang sadar bahwa hidup ini bukan selamanya, yang akan mulai menata diri untuk bekal pulangnya.
Allah bahkan memberi isyarat khusus tentang usia ini dalam Al-Qur’an, “…sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan supaya aku dapat beramal saleh yang Engkau ridai…” (QS. Al-Ahqaf: 15)
Empat puluh apalagi lebih, bukan sekadar angka, tapi tanda sudah waktunya meneguhkan arah. Sudah waktunya menjadikan setiap detik sebagai persiapan. Karena sejak titik ini, langkah makin dekat ke ujung.
Bukan berarti kita harus hidup dengan gelisah. Tapi justru karena kita tahu bahwa mati itu pasti, maka kita berusaha hidup dengan lebih sadar, lebih jujur, dan lebih dekat pada-Nya.
Kalau kadang masih jatuh dalam maksiat, jangan putus asa. Kalau kadang masih lalai dalam ibadah, jangan menyerah. Allah Maha Penerima taubat, bahkan dari hamba yang datang dengan luka dan kegagalan, asal ia benar-benar ingin kembali.
Yang penting, jangan tunda, jangan tunggu sempurna untuk bertobat. Jangan tunggu senggang untuk memperbaiki diri, karena kematian tak pernah bertanya: “Sudah siap belum?”
Renungan ini bukan untuk membuat takut berlebihan, tapi agar kita lebih tenang dalam menjalani sisa usia. Karena ketenangan sejati bukan datang dari banyaknya harta, jabatan, atau rencana masa depan. Tapi dari keyakinan bahwa kapan pun Allah panggil pulang, kita sedang dalam jalan menuju-Nya meski mungkin masih terseok.
Semoga saat nyawa sampai di tenggorokan, kita sedang dalam keadaan yang Allah rida. Semoga hidup kita ditutup dengan husnul khatimah, bukan karena sempurna, tapi karena terus berusaha.
Wallahu a’lam.
*Kepala Bagian Promosi dan Komunikasi Publik BAZNAS Kalsel